Pentingnya Tanaman Obat Keluarga
Tanaman obat keluarga (Toga) adalah tanaman hasil budidaya rumahan yang berkhasiat sebagai obat.
Taman obat keluarga pada hakekatnya adalah sebidang tanah, baik di halaman rumah, kebun ataupun ladang yang digunakan untuk membudidayakan tanaman yang berkhasiat sebagai obat dalam rangka memenuhi keperluan keluarga akan obat-obatan.
Kebun tanaman obat atau bahan obat dan selanjutnya dapat disalurkan kepada masyarakat, khususnya obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. “Budidaya toga dapat memacu usaha kecil dan menengah di bidang obat-obatan herbal sekalipun dilakukan secara individual. Setiap keluarga dapat membudidayakan tanaman obat secara mandiri dan memanfaatkannya, sehingga akan terwujud prinsip kemandirian dalam pengobatan keluarga,” ulas Rosnini Savitri Kepala Dinas Kesehatan Sumbar.
Flora dan fauna serta mineral yang berkhasiat sebagai chat harus dikembangkan dan disebar luaskan agar maksimal mungkin dapat dimanfaatkan dalam upaya-upaya kesehatan masyarakat. Khususnya untuk tanaman chat penyebar luasannya dapat dilakukan melalui toga. “Pengertian toga Toga adalah singkatan dari tanaman obat keluarga. Taman obat keluarga pada hakekatnya sebidang tanah baik di halaman rumah, kebun ataupun ladang yang digunakan untuk membudidayakan tanaman yang berkhasiat sebagai obat dalam rangka memenuhi keperluan keluarga akan obat-obatan,” ucapnya menjelaskan.
Kebun tanaman obat atau bahan obat dan selanjutnya dapat disalurkan kepada masyarakat , khususnya obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pemanfaatan Tanaman Obat Berbicara tentang pemanfaatan tanaman obat atau bahan obat alam pada umumnya sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru.
“Sejak terciptanya manusia di permukaan bumi, telah diciptakan pula alam sekitarnya mulai dari Baru itu pula manusia mulai mencoba memanfaatkan alam sekitarnya untuk memenuhi keperluan alam kehidupannya, termasuk keperluan akan obat-obatan dalam angka mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya,” katanya lagi.
Kenyataan menunjukkan bahwa dengan bantuan obat-obatan asal bahan alam tersebut, masyarakat dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa chat yang berasal dari sumber bahan alam khususnya tanaman telah memperlihatkan peranannya dalam penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan masyarakat.
Pemanfaatan toga juga dapat digunakan sebagai sarana untuk memperbaiki status gizi masyarakat, sebab banyak tanaman obat yang dikenal sebagai tanaman penghasil buah-buahan atau sayur-sayuran misalnya lobak, saledri, pepaya dan lain-lain. Juga sebagai sarana untuk pelestarian alam.
“Apabila pembuatan tanaman obat alam tidak diikuti dengan upaya-upaya pembudidayaannya kembali, maka sumber bahan obat alam itu terutama tumbuh tumbuhan akan mengalami kepunahan. Pemanfaatan toga juga dapat diipakai sebagai sarana penyebaran gerakan penghijauan.
Untuk menghijaukan bukit-bukit yang saat ini mengalami penggundulan, dapat dianjurkan penyebarluasan penanaman tanaman obat yang berbentuk pohon-pahon misalnya pohon asam, pohon kedaung, pohon trengguli dan lain-lain,” tuturnya.
Secara ekonomis pemanfaatan toga dapat digunakan sebagai sarana untuk pemertaan pendapatan Toga disamping berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan bahan obat bagi keluarga dapat pula berfungsi sebagai sumber pengbasilan bagi keluarga tersebut. “Selain itu pemanfaatan toga juga sebagai sarana keindahan dengan adanya Toga dan bila di tata dengan baik maka hal ini akan menghasilkan keindahan bagi orang/masyarakat yang ada di sekitarnya. Untuk menghasilkan keindahan diperlukan perawatan terhadap tanaman yang di tanam terutama yang ditanam di pekarangan rumah,” jelasnya.
Di Indonesia, pemanfaatan tanaman sebagai obat-obatan juga telah berlangsung ribuan tahun yang lalu.Pada pertengahan abad ke XVII seorang botanikus bernama Jacobus Rontius (1592 – 1631) mengumumkan khasiat tumbuh-tumbuhan dalam bukunya De Indiae Untriusquere Naturali et Medica.
“Meskipun hanya 60 jenis tumbuh-tumbuhan yang diteliti, tetapi buku ini merupakan dasar dari penelitian tumbuh-tumbuhan obat oleh N.A. van Rheede tot Draakestein (1637 &ndash 1691) dalam bukunya Hortus Indicus Malabaricus.[3] Pada tahun 1888 didirikan Chemis Pharmacologisch Laboratorium sebagai bagian dari Kebun Raya Bogor dengan tujuan menyelidiki bahan-bahan atau zat-zat yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan untuk obat-obatan. Selanjutnya penelitian dan publikasi mengenai khasiat tanaman obat-obatan semakin berkembang,” jelasnya mengakhiri. (h/vin)
Sumber: http://www.harianhaluan.com/